
Pendahuluan
Di tengah gembar-gembor promosi wisata kelas dunia dan proyek “10 Bali Baru” yang dijalankan pemerintah, kabar kurang sedap justru datang dari laporan terbaru World Tourism Index 2025. Dalam daftar Top 20 Destinasi Wisata Dunia, Indonesia kembali tidak masuk. Negara-negara seperti Jepang, Italia, Thailand, dan bahkan Vietnam berhasil masuk, sementara pariwisata Indonesia 2025 masih tertinggal.
Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan pelaku industri pariwisata, pemerintah daerah, hingga masyarakat umum. Bagaimana bisa negeri dengan kekayaan budaya dan alam luar biasa seperti Indonesia, gagal bersaing di daftar top global?
Dalam artikel ini, kita akan membedah penyebab Indonesia gagal masuk daftar elite destinasi dunia, dan apa langkah konkret yang bisa dilakukan untuk mengejar ketertinggalan ini.
Kurangnya Aksesibilitas dan Konektivitas Antar Destinasi
Salah satu keluhan utama dari wisatawan mancanegara adalah aksesibilitas yang rumit. Meskipun Bandara Soekarno-Hatta, I Gusti Ngurah Rai, dan Yogyakarta International Airport sudah cukup modern, konektivitas ke destinasi lokal lainnya masih terbatas. Banyak tempat wisata indah di Indonesia hanya bisa diakses dengan penerbangan lanjutan, perjalanan darat yang panjang, atau bahkan kapal laut yang tidak teratur.
Bandingkan dengan Thailand atau Jepang, di mana wisatawan bisa menjangkau destinasi terpencil sekalipun dengan kereta cepat atau transportasi publik efisien. Di Indonesia, wisatawan asing yang ingin ke Labuan Bajo, Raja Ampat, atau Danau Toba sering kali harus menghadapi jadwal transportasi yang tidak konsisten dan biaya logistik mahal.
Hal ini mengakibatkan biaya total wisata ke Indonesia jauh lebih tinggi dibanding kompetitor regional. Dalam dunia pariwisata internasional yang sangat kompetitif, kenyamanan dan akses mudah menjadi faktor kunci bagi para pelancong.
Pengelolaan Destinasi Masih Minim Standar Internasional
Masalah lain yang membuat pariwisata Indonesia 2025 belum masuk top global adalah kualitas pengelolaan destinasi. Banyak lokasi wisata yang terkenal—seperti Bromo, Karimunjawa, atau Wakatobi—masih minim fasilitas dasar seperti toilet bersih, tempat istirahat, papan informasi multibahasa, hingga jalur aman bagi lansia atau penyandang disabilitas.
Wisatawan global kini tidak hanya mencari keindahan alam, tapi juga pengalaman yang nyaman dan ramah lingkungan. Di tempat seperti Jepang dan Skandinavia, setiap sudut destinasi dikelola secara presisi: ada informasi lengkap, petunjuk visual, bahkan edukasi budaya digital yang menyenangkan.
Di Indonesia, sayangnya masih banyak destinasi dikelola secara serampangan—minim petugas resmi, tidak ada sistem tiket digital, hingga sampah plastik berserakan. Ketika kesan pertama buruk, maka tingkat kunjungan ulang juga rendah.
Belum lagi persoalan keselamatan wisatawan yang kerap jadi berita buruk: kecelakaan kapal wisata, pemandu tak berlisensi, hingga pungli dari oknum. Semua ini jadi catatan besar jika Indonesia ingin bersaing di level global.
Kurangnya Promosi Terpadu dan Segmentasi Wisatawan
Promosi pariwisata Indonesia memang cukup gencar di dalam negeri, tapi masih lemah di luar. Banyak negara belum menjadikan Indonesia sebagai prioritas kunjungan karena minimnya kampanye destinasi di media luar negeri. Situs resmi pariwisata juga masih kalah canggih dibanding VisitJapan, Tourism Authority of Thailand, atau Australia.com.
Lebih dari itu, pariwisata Indonesia 2025 belum punya segmentasi wisatawan yang jelas. Apakah Indonesia ingin dikenal sebagai tujuan petualangan? Destinasi mewah? Wisata spiritual? Wellness tourism? Tak ada positioning tunggal yang kuat.
Ini berbeda dengan Maldives (honeymoon luxury), Korea Selatan (budaya & medical tourism), atau Islandia (adventure + nature). Indonesia seolah mencoba menjual semuanya sekaligus, tapi tidak ada satu narasi kuat yang ditangkap wisatawan global.
Belum lagi kurangnya influencer global, travel ambassador, atau brand partnership yang bisa memperluas jangkauan promosi. Tanpa strategi konten dan kerja sama internasional, destinasi-destinasi eksotis Indonesia hanya akan viral sesaat tapi tidak sustain.
Referensi
Penutup: Waktunya Evaluasi dan Transformasi Total
Tidak masuknya Indonesia ke dalam daftar Top 20 tujuan wisata dunia tahun 2025 harus dijadikan cambuk dan refleksi, bukan sekadar berita lewat. Ini saatnya seluruh pemangku kepentingan pariwisata—pemerintah, swasta, pelaku lokal, dan masyarakat—melakukan evaluasi dan transformasi menyeluruh.
Pariwisata bukan hanya soal panorama, tapi juga soal manajemen, pengalaman, kenyamanan, dan narasi. Jika semua pihak serius membenahi fondasi dan memperkuat kerja sama global, maka bukan tidak mungkin pariwisata Indonesia 2025–2030 bisa melesat masuk daftar elite dunia.
Destinasi kita indah. Sekarang tugas kita: membuat dunia percaya bahwa keindahan itu layak dikunjungi, nyaman dijalani, dan dikenang selamanya.