
Pendahuluan
Isu menyusui berkelanjutan Indonesia kembali jadi sorotan di bulan Agustus, yang juga dikenal sebagai Bulan ASI Sedunia. Meski kampanye ASI eksklusif makin gencar, kenyataannya masih banyak ibu yang kesulitan memberikan ASI secara berkelanjutan hingga 6 bulan atau lebih. Mengapa hal ini terus terjadi?
Menurut data Kementerian Kesehatan RI, hanya sekitar 52% bayi Indonesia menerima ASI eksklusif hingga usia 6 bulan. Angka ini masih jauh dari target nasional, apalagi global. Salah satu penyebabnya adalah belum adanya sistem dukungan yang kuat untuk ibu menyusui—baik dari keluarga, tempat kerja, tenaga medis, maupun kebijakan negara.
Artikel ini akan membahas secara mendalam apa yang membuat menyusui berkelanjutan di Indonesia masih jadi perjuangan berat bagi jutaan ibu, dan apa solusi yang bisa ditawarkan.
Faktor Sosial & Budaya Penghambat Menyusui Berkelanjutan
Banyak ibu di Indonesia tidak hanya berjuang melawan lelah fisik saat menyusui, tapi juga menghadapi tekanan budaya dan sosial yang sering kali kontraproduktif. Di berbagai daerah, pemberian air putih, madu, atau makanan padat sebelum 6 bulan masih dianggap wajar—padahal ini jelas bertentangan dengan pedoman WHO.
Bahkan dalam lingkungan keluarga sendiri, ibu menyusui sering dianggap “egois” jika menolak saran nenek atau mertua soal pola makan bayi. Penilaian seperti “bayinya kecil karena cuma minum ASI” bisa membuat ibu kehilangan kepercayaan diri.
Menyusui berkelanjutan Indonesia sulit tercapai jika budaya menyalahkan atau mengintervensi ibu terus dibiarkan. Dukungan emosional dan edukasi berbasis bukti harus menjangkau seluruh anggota keluarga, bukan hanya ibu.
Pendidikan publik tentang menyusui juga perlu menyasar kalangan urban muda, di mana menyusui kadang dianggap “ketinggalan zaman” atau “kurang praktis” dibanding susu formula. Di sinilah kampanye budaya dan digital bisa berperan besar mengubah persepsi.
Kurangnya Fasilitas Publik & Perlindungan Kebijakan
Perjalanan menyusui tak selalu terjadi di rumah. Banyak ibu yang kembali bekerja 2–3 bulan setelah melahirkan, dan di sinilah menyusui berkelanjutan Indonesia kembali diuji. Sayangnya, banyak kantor, pabrik, bahkan instansi pemerintah sekalipun belum menyediakan ruang laktasi yang layak.
Toilet menjadi tempat darurat memompa ASI. Tempat menyimpan ASI tidak tersedia. Jadwal kerja padat juga sering tidak memberi ruang bagi ibu untuk memompa secara rutin. Situasi ini tidak hanya tidak sehat, tapi juga sangat menekan secara psikologis.
Peraturan Menteri Kesehatan No. 15 Tahun 2013 sebenarnya mengatur kewajiban menyediakan ruang laktasi. Namun di lapangan, implementasinya minim. Cuti melahirkan yang hanya 3 bulan juga dinilai belum cukup memberi waktu untuk membangun pola menyusui yang stabil.
Perlu kebijakan baru yang lebih pro-perempuan, mulai dari perpanjangan cuti melahirkan, insentif untuk perusahaan ramah menyusui, hingga inspeksi terhadap ruang laktasi di tempat kerja. Tanpa kebijakan nyata, semangat menyusui akan terus terbentur sistem yang tak mendukung.
Komunitas, Teknologi, dan Inovasi Mendukung Ibu Menyusui
Meski tantangan besar, menyusui berkelanjutan Indonesia tetap bisa dicapai dengan pendekatan komunitas dan inovasi. Saat ini, semakin banyak ibu saling berbagi dukungan melalui media sosial, grup WhatsApp, hingga komunitas ASI donor seperti Sentra Laktasi Indonesia.
Komunitas Ayah ASI, misalnya, menyoroti pentingnya peran ayah dalam menyukseskan proses menyusui. Dengan dukungan emosional dan logistik dari suami, ibu merasa tidak sendiri. Bahkan, beberapa komunitas lokal kini membentuk “kelompok peer counselor” untuk membantu ibu baru secara langsung di lapangan.
Di sisi lain, teknologi menghadirkan aplikasi laktasi pintar, pelacak jadwal menyusui, hingga layanan konsultasi daring dengan konselor laktasi. Startup logistik bahkan mulai mengembangkan sistem distribusi ASI beku donor, lengkap dengan rantai dingin aman dan sertifikasi kesehatan.
Namun kemajuan ini juga harus diimbangi edukasi. Banyak konten di media sosial mendorong konsumsi suplemen atau teknik instan tanpa dasar medis. Maka perlu verifikasi dan akreditasi konsultan laktasi online agar tidak terjadi misinformasi.
Referensi
Penutup: Saatnya Menjadikan Menyusui Sebagai Isu Sistemik, Bukan Individual
Menyusui bukan sekadar pilihan pribadi, tapi hak dasar anak dan kewajiban moral masyarakat. Untuk mewujudkan menyusui berkelanjutan Indonesia, kita harus berhenti melempar beban hanya ke pundak ibu. Sebaliknya, harus dibangun sistem dukungan yang menyeluruh—dari rumah hingga ruang publik, dari perusahaan hingga pemerintah.
Dengan memperkuat kebijakan, memperluas edukasi lintas generasi, dan menyatukan teknologi dengan budaya lokal, Indonesia bisa jadi contoh negara yang tidak hanya peduli pada angka ASI eksklusif, tapi juga pada martabat dan kesejahteraan ibu menyusui.